| Subcribe via RSS

Browse > Home / , / Blog Article: BERDASAR HISAB ATAUKAH RU'YAH ?

BERDASAR HISAB ATAUKAH RU'YAH ?

Rabu, 04 Agustus 2010 | Posted in ,

Ru'yah Hilal
Oleh: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi

Sungguh, kaum muslimin sangat resah ketika mereka harus mengawali ibadah puasa Ramadhon atau berhari raya di hari yang berbeda dengan saudaranya. Terlebih bulan Ramadhan dan Syawal adalah saat yang tepat bagi kaum muslimin untuk menyatukan hati. Shalat tarawih berjama’ah,zakat fitrah, halaqoh-halaqoh kajian, shlat Idul Fitri di lapangan akan semakin bermakna jika dikerjakan secara bersamaan.

Perbedaan penentuan tanggal satu hijriah adalah polemic yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Sekalipun sudah banyak tokoh mencoba menghibur kaum muslmin bahwa perbedaan itu merupakan rahmat (1), namun kenyataannya di lapangan timbul kepiluan missal yang mengarah kepada perpecahan (2).

Bila kita telusuri, ternyata salah satu sumbernya adalah perbedaan cara penentuan awal bulan di kalangan ormas-ormas Islam. Sebagian berdasar ru’yah (melihat hilal) dan sebagian lagi bersandarkan hisab (ilmu hitung posisi bulan).

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, kami akan membahas masalah ini secara ringkas sebagai sumbangsih yang bersahaja (3). Untuk lebih detailnya, silahkan merujuk kitab-kitab yang kami isyaratkan. Semoga Alloh melapangkan hati kita semua untuk menerima kebenaran dan meninggalkan kesombongan dan fanatik gologan yang itu merupakan penyakit jahiliyah. Amiin.

DEFINISI RU’YAH DAN HISAB
Ru’yah adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakkan bulan sabit yang nampak pertama kali ketika terjadi ijtima’ (bulan baru). Ru’yah dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat Bantu optic seperti teleskop (4). Apabila hilal terlihat, maka sejak petang hari waktu setempat, tempat tersebut telah memasuki bulan baru hijriyah.

Sedangkan hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam dimulainya awal bulan hijriyah.(5).

CARA ISLAM MENENTUKAN AWAL BULAN
Tatkala Alloh mensyariatkan kepada para hamba-Nya untuk melakukan ibadah puasa dan hari raya, maka sudah pasti Alloh juga menjelaskan cara menentukan waktunya juga. Melalui lisan Rasul-Nya, Alloh menjelaskan hal ini secara gambling. Nabi bersabda:
“Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berhari rayalah. Dan apabila kalian terhalang maka sempurnakanlah tiga puluh hari. (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081).
Hadits ini dan haits-hadits semisalnya yang banyak menunjukkan bahwa syariat Islam hanya menggunakan dua cara dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan Romadhan yaitu ru’yah (melihat hilal) atau ikmal (menyempurnakan 30 hari apabila tidak kelihatan bulan sabit). Cara ini lebih mudah dan lebih meyakinkan.

BOLEHKAH PENENTUAN PUASA DAN HARI RAYA DENGAN HISAB ?
Bila kita mencermati dalil-dalil tentang masalah ini, niscaya kita akan dapati bahwa penentuan awal dan akhir bulan Romadhan dengan ilmu hisab adalah pendapat yang lemah dan tidak dibangun di atas kekuatan dalil. Berikut sebagian dalil tentang tidak bolehnya penggunaan hisab :

1. Dalil Al-Qur’an
“Barangsiapa diantara kamu hadir (melihat) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah :185)
Makna syahadah dalam ayat ini adalah melihat. (6)

2. Dalil Hadits
Hadits-hadits Nabi yang memerintahkan melihat hilal atau menyempurnakan banyak sekali (7). Beliau tidak pernah menganjurkan menetapkannya dengan ilmu hisab.
“Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila kalian terhalang maka takdirkanlah.” (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081).

3. Dalil Ijma
Ijma tentang tidak bolehnya penggunaan hisab dalam penentuan ini telah dinukil oleh sejumlah ulama seperti al-Jashosh dalam Ahkamul Qur’an 1/280, al-Baji dalam al-Muntaqo Syarh Muwatho’ 2/38, Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid 1/283-284, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa 25/132-207,as-Subuki dalam al-Ilmu al-Mantsur hlm. 6, Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya 2/387 dan lain sebagainya. (8)

4. Dalil Akal
Penentuan awal puasa dengan ru’yah sesuai dengan pokok-pokok syariat Islam yang dibangun di atas kemudahan. Ru’yah bisa dilakukan oleh semua manusia. Cara ini dapat mempersatukan umat, berbeda dengan ilmu hisab yang masing-masing akan mempertahankan pendapat dan penelitiannya sendiri-sendiri. (9)

5. Mengurai Beberapa Syubhat
Sebagian kalangan berpendapat bahwa penentuan awal dan akhir Romadhon boleh ditentukan dengan ilmu hisab. Mereka membawakan beberapa argument yang bila diteliti ternyata argument tersebut lemah (10). Berikut penjelasan secara ringkas :
  • Dalil al-Qur’an
    Mereka berdalil dengan ayat berikut (artinya):
    “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Alloh tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus :5).
    Jawab :



    • Adakah konteks ayat tersebut yang menunjukkan ketentuan masuknya bulan puasa dan hari raya dengan ilmu hisab? Apakah Nabi dan para sahabatnya memahami ayat di atas dengan pemahaman tersebut, lantas, kenapa mereka tidak menerapkannya?!Ataukah ini cara untuk mencari-cari dalil untuk mendukung suatu pendapat yang menyimpang?!.
    • Ayat diatas hanyalah menjelaskan tentang fungsi manzilah-manzilah bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
  • Dalil Hadits
    Meraka berdalil dengan hadits :
    “Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka takdirkanlah.” (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081)
    Mereka mengartikan (takdirkanlah) dengan ilmu hisab.
    Jawab :



    • Makna hadits di atas ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits lainnya dengan lafazh menyempurnakan. Tentu saja, penafsiran Rasulullah harus di dahulukan karena hadits itu saling menjelaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan inilah yang dipahami oleh para ulama ahli hadits dan fiqih bahwa makna hadits tersebut adalah “sempurnakanlah” bukan “perkirakanlah”.
    • Dalam riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrok 1/423 dan al-Baihaqi dalam Sunan Kibro 4/204 dengan sanad shahih, Rasulullah menggabung penafsiran tersebut dengan “sempurnakanlah”. Lalu adakah yang lebih jelas lagi dari penafsiran Rasulullah ?!
  • Dalil Ucapan Ulama
    Mereka mengatakan bahwa penggunaan hisab telah diperbolehkan oleh ulama-ulama sejak dahulu seperti Muthorrif bin Abdillah, Ibnu Qutaibah dll.
    Jawab:



    • Ucapan dan pendapat tersebut tidak shohih penisbatannya sampai kepada mereka.
    • Anggaplah shohih, tetap ucapan ulama bukanlah dalil bila bertentangan dengan nash yang jelas.
    • Maksud ucapan mereka adalah khusus ketika cuaca tanggal 30 Sya’ban/Romadhon mendung, bukan jauh-jauh hari telah ditetapkan bahwa hari awal puasa atau hari raya akan jatuh pada hari ini atau itu, sebagaimana dilakukan oleh sebagian organisasi yang menggunakan hisab.
  • Dalil Qiyas
    Menggunakan qiya (analogi) waktu puasa dengan waktu shalat. Sebagaimana boleh menggunakan hisab untuk waktu shalat demikian juga boleh untuk puasa.
    Jawab :



    • Ini adalah qiyas batil, karena bertentangan dengan nash/dalil yang jelas. Perlu diingat bahwa qiyas harus terpenuhi syarat-syaratnya, apakah hal itu telah terpenuhi pada masalah ini?
    • Dalam sholatpun apabila jadwal sholat bertentangan dengan waktu sholat yang benar, maka yang menjadi patokan adalah waktu sholat yang benar, jadwal sholat yang salah tidak boleh digunakan.
    • Alloh membedakan antara cara menentukan waktu sholat dan puasa. Alloh menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat Dzuhur, demikian juga waktu-waktu sholat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu, maka hisab yang yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu di antara dua perkara: pertama, melihat hilal; kedua, menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak terlihat hilal. Untuk bisa menentukan tanggal dua puluh sembilan Sya’ban, kita harus melihat hilal tanggal satu Sya’ban. Wallahua’lam (11).
  • Dalil Akal
    Mereka mengatakan bahwa Islam mendukung perkembangan modern, dan dengan hisab akan terwujud persatuaan kaum muslimin dalam puasa dan hari raya.
    Jawab :



    • Benar, Islam mendukung perkembangan modern, tetapi bukan berarti dengan melanggar rambu-rambu syariat.
    • Persatuan dengan hisab menyelisihi fakta, bahkan inilah salah satu factor utama perbedaan yang ada. Bukankah sesame ahli hisab juga kadang berbeda?! Seandainya ormas-ormas Islam mau bersepakat bersama pemerintah dalam puasa dan hari raya niscaya perbedaan itu bisa diminimalkan. Apalagi dalam hal ini pemerintah memilikh Ru’yah yang disepakati bersama bolehnya dan kebenarannya! Kenapa dalam hal ini kita tidak bersama pemerintah dan meninggalkan pendapat kita untuk kemaslahatan persatuan bersama?! Ataukah ini adalah kesombongan dan fanatik golongan yang membutakan pandangan?!

HISAB BUKANLAH SESUATU YANG YAKIN
Sebagian orang menyangka bahwa alat-alat modern untuk ilmu hisab sekarang bisa dikatakan pasti dan yakin. Namun pada kenyataannya di lapangan, ternyata itu hanyalah prasangka belaka (12). Berikut beberapa buktinya :
  1. Banyak fakta dilapangan membuktikan terjadinya kesalahan dalam perhitungan ilmu hisab. Di beritakan di media bahwa ahli hisab mengatakan tidak mungkin terlihat bulan, tetapi ternyata bulan dapat dilihat dengan jelas oleh beberapa saksi yang terpercaya. (13)
  2. Adanya perbedaan kalender antara sesame ahli hisab sendiri dalam satu Negara.
  3. Ilmu hisab di bangun di atas alat-alat modern yang seperti dalam halnya alat-alat lainnya terkadang terjadi kesalahan, baik penggunanya merasakan atau tidak. (14)
HISAB BERTENTANGAN DENGAN SYARI’AT
Tatkala hisab keluar dari jalur syari’at maka menimbulkan beberapa hal yang bertentangan dengan syari’at, di antaranya :
  1. Ada perbedaan dalam penetapan bulan antara cara perhitungan syari’at dan ilmu hisab. Bilangan bulan dalam pandangan syari’at mungkin 29 hari atau 30 hari, sedangkan dalam pandangan ilmu hisab satu bulan itu 29 hari, 12 jam di tambah 44 detik.
  2. Dalam pandangan syari’at bahwa saat awan tertutup maka disempurnakan 30 hari, sedankan dalam ilmu hisab mungkin ditetapkan 29 hari.
  3. Dalam pandangan ilmu hisab, awal bulan dimulai sejak hilangnya matahari sore itu, sedangkan dalam pandangan syari’at awal bulan dimulai dengan terlihatnya hilal.
  4. Dalam pandangan syari’at, awal bulan dapat diketahui dengan panca indera mata dan secara tabi’at, tidak menyesatkan seorang dari agamanya, tidak menyibukkannya dari kemaslahatan, serta semua kaum muslimin dapat ikut serta di dalamnya. Aadapun dalam ilmu hisab, semua kebaikan tersebut tidak ada. (15)
Sebagai kalimat penutup, cukuplah sebagai bukti tidak bolehnya penggunaan hisab dalam hal ini adalah kesalahan dalam ilmu hisab tidak dimaafkan, berbeda halnya dengan kesalahan dalam ru’yah, hal itu dimaafkan. Bahkan sekalipun mereka salah, mereka mendapatkan pahala karena mereka mengikuti perintah syari’at yaitu menggunakan ru’yah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi: “Ketahuilah bahwa termasuk kaidah fiqih adalah bahwa lupa dan bodoh menggugurkan dosa…Adapun apabila kesalahan dikarenakan ilmu hisab maka hal itu tidak dianggap karena mereka meremehkannya.” (16)

SEBUAH HIMBAUAN
Tulisan ini sengaja kami paparkan untuk mengajak seluruh umat Islam untuk kembali pada pedoman dasar beragama kita, sebagaimana firman Alloh (artinya):
“Hai orang-orang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul-Nya, dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’:59)

Tinggalkan segala fanatik golongan karena akan menjauhkan kita dari menerima kebenaran. Munculkan dalam hati kita rasa ingin mencari kebenaran meskipun harus bertentangan dengan sesuatu yang selama ini kita yakini (17), karena tidak ada yang ma’shum kecuali para Nabi dan Rosul. Semua orang bisa menolak dan ditolak pendapatnya kecuali Rosulullah. (18)

Hendaknya kita selalu bertakwa kepada Alloh dan ingat bahwa masalah ini bukan masalah pribadi dan golongan tetapi masalah syi’ar Islam yang membutuhkan persatuan dan kebersamaan. Semoga semua itu segera terwujudkan. Amiin


Catatan kaki :
1. Namun hadits “Perbedaan umatku adalah rohmat” adalah hadits yang tidak ada asalnya dari Nabi. Lihat kembali tulisan kami “Perbedaan adalah Rohmat?” dalam majalah al-Furqan edisi 9/Th.8, hlm.12-14.
2. Lihat buku Pilih Hisab atau Ru’yah? Hlm. 11-12 oleh akhuna al-Ustadz Abu Yusuf al-Atsari.
3. Masalah ini kami cantumkan dalam fiqih kontemporer padahal telah dibahas oleh ulama sejak dahulu karena dua sebab : Pertama, Sebagian ulama masa kini berpendapat bahwa kemajuan teknologi ilmu falak sekarang seharusnya menutup perselisihan pendapat dalam masalah ini sebagaimana pendapat Syaikh Musthofa az-Zarqo. Kedua, Perhatian lembaga-lembaga fiqih tentang permasalahan ini. (Al-Fiqhul Mustajaddat fii Babil Ibadat hlm. 254-255 oleh Thohir Yusuf Ash-Shiddiq).
4. Majelis Ulama Saudi Arabia membolehkan penggunaan alat ini dalam rapat yang mereka gelar pada bulan Dzulqa’dah 1403H. (Lihat Fiqih Nawazil 2/279 oleh al-Jizani).
5. Pilih Hisab atau Ru’yah? Hlm.29
6. Lihat al-Qomus al-Muhith oleh Fairuz Abadi hlm. 372 dan at-Tamhid Ibnu Abdil Barr 7/149.
7. Bahkan berderajat mutawatir sebagaimana dalam Nadhmul Mutanatsir oleh al-Kattani hlm.139.
8. Lihat pula Awail Syuhur Al-Arobiyyah hlm.4 oleh Syaikh Ahmad Syakir, Fiqhu Nawazil 2/200 karya Syaikh Bakr Abu Zaid, Ahkamul Ahillah hlm. 111-112 oleh Ahmad al-Furoih.
9. Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Abdul Aziz bin Baz 15/112-113.
10. Lihat Manhaj Tarjih Muhammadiyah hlm. 218-225. Dan lihat bantahannya secara luas dalam Fiqih Nawazil 201-215 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid, Ahkamul Ahillah hlm.128-143 oleh Ahmad al-Furoih, Pilih Ru’yah atau Hisab hlm.71-116 oleh Abu Yusuf al-Atsari.
11. Al-Furuq 2/323-324 oleh al-Qorrofi.
12. Sebagian ahli falak juga mengakui bahwa mustahil membuat kalender yang paten untuk tahun qamariyah karena bulan silih berganti antara tahun ke tahun berikutnya. (lihat ta’liq Ibrohim al-Hazimi terhadap risalah Ru’yatul Hilal wal Hisab al-Falaki hlm.43-44 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.)
13. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Fiqhu Nawazil 2/217 mencontohkan kasus hilal bulan syawal tahun 1406 H, dimana para ahli hisab telah mengumumkan di media hasil penelitian mereka bahwa hilal syawal tidak mungkin bisa dilihat pada malam Sabtu 30 Romadhon, tetapi ternyata dapat dilihat oleh dua puluh saksi di berbagai penjuru Saudi Arabia. Kasus-kasus serupa juga banyak sebagaimana dalam buku Ahkamul Ahillah hlm.144-145. Di Indonesia, organisasi Muhammadiyah terpaksa merubah penetapan tanggal 1 syawal yang dari hari minggu tanggal 27 Maret 1991. Organisasi Muhammadiyah juga merevisi keputusan tanggal 1 Syawal yang semula jatuh pada hari Sabtu menjadi hari Ahad tahun 1992. Kasus yang sama terulang lagi pada tahun 1994, sekalipun kasus terakhir ini tidak terjadi dalam lingkungan Muhammadiyah (Majalah Qiblati Vol.02/No.01/10-2006M/09-1427H)
14. Lihat Fiqhu Nawazil Syaikh Bakr Abu Zaid 2/216-218 dan Ahkamul Ahillah hlm. 144-145 oleh Ahmad al-Furoih.
15. Fiqhu Nawazil Syaikh Bakr Abu Zaid 2/219-221 dan Ahkamul Ahillah karya Ahmad al_Furoih hlm.147
16. Al-Asybah wa Nadhoir hlm.1989-19990
17. Dan diantara pokok-pokok manhaj Majlis Tarjih Muhammadiyah adalah berprinsip terbuka dan toleran, tidak beranggapan hanya Majlis Tarjih yang paling benar…Dan koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. (Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi hlm. 13 oleh Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman)
18. Antara Ru’yah dan Hisab Dalam Penentuan Awal dan Akhir Ramadhon oleh akhua al-Ustadz Ahmad Sabiq dalam majalah Al-Furqon edisi 2/Tahun IV.

Daftar Referensi :
- Ahkamul Ahillah wal Atsaar al-Mutarottibah Alaiha, Ahmad bin Abdillah al-Furoih, Dar Ibnul Jauzi, KSA
- Fiqhu Nawazil, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Penerbit Muassasah ar-Risalah , Bairut, cet Pertama 1427H
- Fiqhul al-Mustajaddat fii Babil Ibadat, Thohir Yusuf ash-Shidiqqi, Dar Nafais, Yordania, cet Pertama 1425 H
- Pilih Hisab atau Ru’yah, Abu Yusuf al-Atsari, Pustaka Darul Muslim,Solo, tanpa tahun
- Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi, karya Prof.Drs. Asmuni Abdurrahman, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet keekmpat 2007.


Dinukil dari Majalah Al-Furqan edisi 1 Th.09 1430H/2009M

0 Responses to "BERDASAR HISAB ATAUKAH RU'YAH ?"

Leave a Reply