Browse > Home

| Subcribe via RSS

Beradablah dalam Bertanya -Jawaban Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh- (PENTING!)

Jumat, 18 Januari 2013 | No Comments | Posted in


بسم الله الرحمن الرحيم

“Beradablah dalam Bertanya”
Jawaban Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh

Pertanyaan: Seseorang yang pada akidahnya ada penyimpangan dari petunjuk salafus-shalih, begitu pula pada akhlaknya kepada sesama, apa hukum membantunya ketika dia ditimpa musibah, menziarahi dan apakah tidak membantu orang ini dengan alasan dia memiliki penyimpangan dalam akidah bisa dibenarkan?

Jawab: Disini ada catatan umum seputar pertanyaan. Dan semoga saya bisa jabarkan masalah ini insyaAllah Ta’ala pada pelajaran umum dengan judul “Adab Bertanya”.

Banyak dari pertanyaan-pertanyaan disisi sipenanya memiliki gambaran tertentu, lalu dia bertanya dengan redaksi yang umum. Cara seperti ini tidak layak kalian bertanya kepada seorang ulama atau penuntut ilmu sedangkan dibenakmu situasi keadaannya bersifat khusus. Kemudian kamu merangkai pertanyaan dengan redaksi yang umum sedangkan yang kamu maukan suatu kondisi yang khusus. Cara seperti ini menjadikan yang ditanya (Syaikh/selainnya) dan dia tidak menyadari apa yang ada dibenakmu, menjawab dengan jawaban sesuai redaksi, sedangkan kamu memberlakukannya sesuai apa yang ada dibenakmu dari suatu realita tertentu. Cara seperti ini menjadi sebab timbulnya banyak musibah (fitnah).

Banyak dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada ulama di zaman sekarang dari pertanyaan yang sifatnya umum, lalu dijawab oleh si alim atau penuntut ilmu, kemudian sipenanya menjadikan jawaban tersebut sebagai dalil bagi kepentingan-kepentingannya. Ini bukan termasuk adab yang baik dalam bertanya. Melainkan penanya adalah seorang yang minta fatwa, minta petunjuk, tidak benar bagi dia bertanya untuk mendapatkan jawaban yang sesuai dengan keinginannya. Karena sebuah pertanyaan pada dasarnya adalah untuk mendapatkan kebenaran ((Bertanyalah kepada ahli dzikr apabila kalian tidak mengetahui)) (An-Nahl: 43), (Al Anbiya’: 7). Adapun kamu sudah tahu atau kamu menyimpan sesuatu lalu bertanya agar jawaban sesuai kepentinganmu atau menguatkan pendapatmu, yang seperti ini bukan adab yang baik dalam bertanya.

Tidak seorang pun selamat dari pembicaraan (kritik) maka, Tatsabbutlah (ceknricek)

| No Comments | Posted in


Siapa saja yang membaca biografi ulama dan sejarah mereka atau bahkan sejarah manusia seluruhnya tidak mendapati seorang pun yang menonjol kecuali orang-orang berselisih tentangnya. Maka tidakk seorang pun yang menonjol dari ummat ini kecuali diperbincangkan, sebagian memuliakan dan membelanya dan sebagian lainnya merendahkan dan mempersalahkannya.

Al Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah telah menyebutkan perkataan yang berharga lagi panjang berkenaan dengan hal ini ketika beliau membawakan biografi Al Husain bin Manshur Al Hallaj -semoga Allah membalasnya dengan balasan yang setimpal-, dan bahwasanya ada diantara manusia yang meyakininya sebagai seorang wali padahal ia diantara da'i yang mengajak kepada ilhad (kekufuran) dan zindiq, maka saya akan bawakan perkataan beliau lengkap mengingat pentingnya masalah ini.

((Tidaklah pantas bagi anda wahai faqih untuk tergesa-gesa mengkafirkan seorang muslim kecuali dengan bukti yang qath'i (jelas) sebagaimana tidak dibenarkan bagi anda untuk meyakini ke wali-an seseorang yang telah terbukti penyimpangannya dan tersingkap ke zindiq-kannya. Tidak ini dan tidak pula itu. Bahkan yang adil adalah bahwa seseorang yang dianggap oleh ummat Islam shalih, baik maka ia demikian. Karena ummat Islam adalah saksi-saksi Allah dimuka bumi, karena ummat ini tidak akan bersatu di atas kesesatan. Dan bahwa seseoran yang dianggap oleh ummat Islam jahat atau munafik atau pengekor kebatilan, maka ia demikian.

MENYIKAPI KESALAHAN DAN ORANG SALAH (JUGA ADA FIKIHNYA) -perhatikan lagi pendetilannya- (Asy-Syaikh Ubaid Al Jabiri)

| No Comments | Posted in


بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan: Fadhilatus-Syaikh, apakah ketika seseorang dari ulama besar salah, boleh atau dibenarkan bagi seorang pemuda untuk membantah kesalahannya? Atau (yang harus) membantahnya seorang ulama juga semisalnya? Dimana sebagian anak muda lancang menolak fatwa sebagian ulama yang mana fatwa itu terkadang sensitif menurut syariat, lalu sang ulama tersebut memfatwakannya karena darurat atau menurutnya ada hikmah dibaliknya –barakallahufikum-, apa pendapatmu dalam hal ini? Semoga Allah membalas kebaikanmu.

Jawaban: Segala puji bagi Allah Rab semesta alam, dan saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya. (Dialah) penolong orang-orang shalih dan Rab orang-orang baik. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya, penghulu anak Adam seluruhnya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada beliau dan keluarganya serta para shahabatnya yang baik lagi suci sampai hari akhir. Amma ba’du:

Sesungguhnya apa yang kalian tanyakan, perlu dilihat dari dua sisi, sebagaimana perlu dilihat kepada siapa pemilik pendapat keliru tersebut dari dua sisi juga. Demikianlah Ahlussunnah, mereka melihat kepada (jenis) penyimpangan dan kepada (orang) yang menyimpang.

Adapun (jenis) penyimpangan, (ia) tidak keluar dari dua keadaan:

-          Apakah penyimpangan tersebut terjadi pada perkara yang bukan ranah ijtihad, apakah dalam perkara pokok agama atau cabang-cabangnya, seperti banyak terdapat dalil Al Qur’an dan Sunnah berkenaan dengannya dan disepakati oleh para imam (ijma’), atau telah dianggap seperti ijma’, dan ketika itu orang yang menyimpang (mukhalif) tidak ada padanya nas-nas yang menguatkan pendapatnya. 

-          Atau penyimpangan tersebut terjadi pada perkara yang merupakan ranah ijtihad, atau perkara yang nas-nasnya (dalil-dalil) muhtamal (memiliki banyak sudut pandang). 

Fulan Hizbi, Fulan Salafy. Masalah ini Ijtihadi atau Bukan?

| No Comments | Posted in


بسم الله الرحمن الرحيم

 oleh: Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab Al Wushabi -hafidzahullah-

Apabila (ia) berselisih dengan seseorang dalam perkara ijtihadiyah seperti misalnya: Asy-Syaikh Abdurahman Al ‘Adani hizbi atau bukan?! Dia bilang orang ini hizbi! Dan syaikh-syaikh Ahlussunnah wal Jama’ah selain dia mengatakan: Bahkan beliau sunni dan bukan hizbi.

Lihatlah apa yang ia lakukan kepada syaikh-syaikh tersebut (yang menyelisihinya –pentj), ia membid’ah-bid’ahkan, mencap mereka sesat, fasik, memutus hubungan (qaathi’), memboikot (mereka) dan menyuruh murid-muridnya memboikot (mereka) dan membuat tulisan-tulisan dan kaset-kaset yang banyak (yang membelanya –pentj)

Kami katakan kepadanya: Wahai Anda, ini perkara ijtihadiyah bukan nashshiyyah (ada nash nya), tidak ada wahyu turun ke kita fulan hizbi! Anda berijtihad begini –diatas baik sangka- bahwa Anda mengatakan ini atas dasar ijtihad, kalau bukan karena hawa nafsu. Anggap, bahwa Anda berijtihad dan selain Anda berijtihad dan mengatakan: Dia bukan hizbi. Perkara-perkara ijtihadiyah tidak boleh menyesat-nyesatkan disini, (tidak boleh) membid’ah-bid’ahkan, menghizbikan, mencap fasik, penjahat, (yakni) bahwa mereka (syaikh-syaikh yang menyelisihimu –pentj) sebagai orang-orang fasik, membuat makar, pengkhianat…

Perkaranya ijtihadiyah, buka cakrawalamu. Orang ini telah membuat syari’at, ini adalah bid’ah yang buruk, yaitu memboikot, memutus hubungan, menjauh, tidak mengucapkan salam, tidak mau berbicara, meskipun bertahun-tahun, karena perkara ijtihadiyah.

Apakah Lazim (konsekwensi/keharusan) Suatu Ucapan Dinilai Sebagai Ucapan? -kaidah berguna bagi penuntut ilmu- (4dibagikan)

| No Comments | Posted in


Ketahuilah bahwa lazim (konsekwensi/keharusan) dari perkataan Allah Ta’aala dan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila sah/bisa dikatakan sebagai lazim,maka lazim itu adalah hak.
Hal itu karena perkataan Allah dan rasul-Nya adalah hak (kebenaran) dan lazim dari kebenaran adalah kebenaran. Dan karena Allah Ta’aala Maha Mengetahui lazim yang terkandung pada perkataan-Nya dan perkataan rasul-Nya. Maka lazim itu juga dimaukan.

Adapun lazim dari perkataan seseorang selain perkataan Allah dan rasul-Nya maka tidak lepas dari tiga keadaan:

Pertama: Diingatkan kepada siempunya ucapan (lazim dari ucapannya) dan ia pun berpegang dengannya.
Seperti orang yang menafikan sifat perbuatan yang berkata kepada orang yang menetapkannya: lazim dari perbuatanmu menetapkan sifat-sifat perbuatan (bagi Allah) bahwa ada dari perbuatan-Nya yang hadits(baru). Lalu orang yang menetapkan sifat perbuatan (bagi Allah) itu berkata: Ya, aku berpegang denganlazim itu, karena Allah senantiasa dan selalu berbuat apa yang dia kehendaki dan tidak pernah habis perkataan dan perbuatan-Nya. Seperti yang Allah firmankan: ((Katakanlah:"Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (Qs. Al Kahfi: 109)

((Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana)). (QS. Luqman: 27)