Apakah Lazim (konsekwensi/keharusan) Suatu Ucapan Dinilai Sebagai Ucapan? -kaidah berguna bagi penuntut ilmu- (4dibagikan)
Ketahuilah bahwa lazim (konsekwensi/keharusan) dari perkataan Allah Ta’aala dan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila sah/bisa dikatakan sebagai lazim,maka lazim itu adalah hak.
Hal itu karena perkataan Allah dan rasul-Nya adalah hak (kebenaran) dan lazim dari kebenaran adalah kebenaran. Dan karena Allah Ta’aala Maha Mengetahui lazim yang terkandung pada perkataan-Nya dan perkataan rasul-Nya. Maka lazim itu juga dimaukan.
Adapun lazim dari perkataan seseorang selain perkataan Allah dan rasul-Nya maka tidak lepas dari tiga keadaan:
Pertama: Diingatkan kepada siempunya ucapan (lazim dari ucapannya) dan ia pun berpegang dengannya.
Seperti orang yang menafikan sifat perbuatan yang berkata kepada orang yang menetapkannya: lazim dari perbuatanmu menetapkan sifat-sifat perbuatan (bagi Allah) bahwa ada dari perbuatan-Nya yang hadits(baru). Lalu orang yang menetapkan sifat perbuatan (bagi Allah) itu berkata: Ya, aku berpegang denganlazim itu, karena Allah senantiasa dan selalu berbuat apa yang dia kehendaki dan tidak pernah habis perkataan dan perbuatan-Nya. Seperti yang Allah firmankan: ((Katakanlah:"Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (Qs. Al Kahfi: 109)
((Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana)). (QS. Luqman: 27)
Keadaan kedua: Diingatkan kepadanya (lazim dari ucapannya) dan dia menolak keterkaitan antara ucapannya dengan lazim tersebut.
Seperti orang yang menafikan sifat-sifat (Allah) yang berkata kepada orang yang menetapkannya: lazimdari penetapanmu (sifat-sifat Allah) bahwa Allah Ta’aala menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya. Lalu orang yang menetapkan (sifat) itu berkata: tidak berarti (lazim) demikian. Karena sifat-sifat Allah disandarkan kepada Allah tidak datang penyebutannya secara mutlak sehingga berarti seperti apa yang kamu sebutkan. Maka berdasarkan ini (sifat-sifat itu) khusus bagi Allah dan sesuai (dengan kebesaran dan keagungan Allah). Sebagaimana anda wahai orang yang menafikan sifat menetapkan bahwa Allah memiliki dzat dan menolak menyamakan dzat Allah serupa dengan dzat ciptaan-Nya. Maka apa ada perbedaan antara dzat dan sifat?
Dan hukum lazim pada dua keadaan ini jelas.
Keadaan ketiga: lazim tersebut disikapi abstain, dia tidak menyebut keberpihakan atau menolak. Maka hukum lazim pada kondisi ini tidak dinisbatkan kepada siempunya ucapan. Karena besar kemungkinan apabila disebutkan kepadanya lazim dari ucapannya ia akan berpegang atau menolak. Dan besar kemungkinan apabila disebutkan kepadanya lazim dari ucapannya itu dan tampak oleh dia adalah konsewensi kearah itu atau tampak olehnya kebatilan pada konsekwensi ucapannya itu ia akan rujuk dari ucapannya. Karena rusaknya lazim menunjukkan akan rusaknya malzum (ucapan). Maka oleh karena adanya dua kemungkinan ini tidak mungkin menetapkan bahwa lazim dari sebuah ucapan adalah ucapan.
Apabila dikatakan: Jika lazim ini merupakan lazim dari ucapan itu, maka harusnya lazim itu juga dinilai sebagai ucapan. Karena ini hukum asalnya, terlebih lagi adanya kedekatan antara lazim dengan ucapan.
Kami katakan: Ini tertolak, karena seseorang itu manusia. Dia memiliki kondisi-kondisi manusiawi dan faktor-faktor eksternal yang menjadikan dia lupa terhadap lazim. Manusia bisa lalai atau lupa atau tertutup akalnya, atau ia mengucapkan suatu ucapan pada ketegangan diskusi tanpa ia pikir kembali terhadap lazim-lazim yang mungkin timbul dan seterusnya.
Qawaid Al Mutsla –Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah
واعلم أن اللازم من قول الله تعالى، وقول رسول الله صلى الله عليه وسلم، إذا صح أن يكون لازماً فهو حق؛ وذلك لأن كلام الله ورسوله حق، ولازم الحق حق، ولأن الله تعالى عالم بما يكون لازماً من كلامه وكلام رسوله فيكون مراداً.
وأما اللازم من قول أحدٍ سوى قول الله ورسوله، فله ثلاث حالات:
الأولى: أن يذكر للقائل ويلتزم به، مثل أن يقول من ينفي الصفات الفعلية لمن يثبتها: يلزم من إثباتك الصفات الفعلية لله – عز وجل – أن يكون من أفعاله ما هو حادث. فيقول المثبت: نعم، وأنا ألتزم بذلك فإن الله تعالى لم يزل ولا يزال فعالاً لما يريد ولا نفاد لأقواله وأفعاله كما قال تعالى: (قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً)(19). وقال: (وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ)(20). وحدوث آحاد فعله تعالى لا يستلزم نقصاً في حقه.
الحال الثانية: أن يذكر له ويمنع اللازم بينه وبين قوله، مثل أن يقول النافي للصفات لمن يثبتها: يلزم من إثباتك أن يكون الله تعالى مشابهاً للخلق في صفاته. فيقول المثبت: لا يلزم ذلك، لأن صفات الخالق مضافة إليه لم تذكر مطلقة حتى يمكن ما ألزمت به، وعلى هذا فتكون مختصة به لائقة به، كما أنك أيها النافي للصفات تثبت لله تعالى ذاتاً وتمنع أن يكون مشابهاً للخلق في ذاته، فأي فرق بين الذات والصفات؟!.
وحكم اللازم في هاتين الحالتين ظاهر.
الحال الثالثة: أن يكون اللازم مسكوتاً عنه، فلا يذكر بالتزام ولا منع، فحكمه في هذه الحال ألا ينسب إلى القائل، لأنه يحتمل لو ذكر له أن يلتزم به أو يمنع التلازم، ويحتمل لو ذكر له فتبين له لزومه وبطلانه أن يرجع عن قوله؛ لأن فساد اللازم يدل على فساد الملزوم. ولورود هذين الاحتمالين لا يمكن الحكم بأن لازم القول قول.
فإن قيل: إذا كان هذا اللازم لازماً من قوله، لزم أن يكون قولاً له، لأن ذلك هو الأصل، لاسيما مع قرب التلازم.
قلنا: هذا مدفوع بأن الإنسان بشر، وله حالات نفسية وخارجية توجب الذهول عن اللازم، فقد يغفل، أو يسهو، أو ينغلق فكره، أو يقول القول في مضايق المناظرات من غير تفكير في لوازمه، ونحو ذلك.
Diambil dari catatan ustadz Ja'far Salih
Leave a Reply