| Subcribe via RSS

Browse > Home / , / Blog Article: FIDYAH DAN KAFFAROH PUASA

FIDYAH DAN KAFFAROH PUASA

Rabu, 04 Agustus 2010 | Posted in ,

Fidyah puasa
Kita sering mendengar istilah fidyah, kaffaroh, tebusan ,dam dan yang semacamnya. namun, secara rinci kita banyak mendapatkan kendala dalam memahami maksud dan hukum-hukum yang berkaitan dengan istilah-istilah tersebut

Dalam kesempatan ini kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan fidyah; definisi, pembagian, macam-macam, hukum, dan yang lainnya, khususnya yang berkaitan dengan ibadah puasa.

Ayat yang pertama kali turun berkaitan dengan ibadah puasa di bulan Romadhon adalah firman Alloh Azza wa Jalla:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu kamu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. “ (QS. al-Baqarah [2]: 183-184)

Kaum muslimin (yang mampu dan yang tidak mampu sama-sama) diberikan pilihan antara berpuasa atau berbuka dengan fidyah sebagai gantinya, yaitu memberi makan fakir miskin pada setiap hari yang ditinggalkan (untuk tidak berpuasa), sebagaimanayang diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Salamah bin al-Akwa’ Rodhiyallohu Anhu bahwa dengan turunnya ayat:
"…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…" (QS. Al-Baqarah [2]: 184)

Maka bagi yang ingin berbuka maka ia membayar fidyah. Hal ini berlangsung hingga turunnya ayat setelahnya:
"…(karena itu), barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…." ( QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Sehingga ayat yang kedua ini me-mansukh (menghapus hukum) ayat yang sebelumnya untuk orang yang mampu. Adapun orang yang tidak mampu melakukannya, maka hukumnya tetap berlaku, yakni berbuka lalu menggantinya dengan fidyah dan tidak mengqodho’nya. (Lihat Shohih Bukhori no. 1813).

DEFINISI FIDYAH DAN KAFFAROH
Fidyah secara bahasa berasal dari kata (fada – yafdiy – fidâa –fidyatan) yang berarti tebusan. Adapun secara istilah adalah sesuatu yang mengganti kedudukan sesuatu yang lain karena ketidaktahuan, lupa, terpaksa atau memilih sesuatu yang lebih baik.(1)

Kaffaroh secara bahasa berasal dari kata (kaffaro – yukaffaru – takfiyrô) yang artinya menutupi atau meliputi. Sedangkan secara istilah adalah suatu perbuatan yang diwajibkan oleh pembuat syari’at untuk menghapus dan menutupi suatu dosa, kesalahan, pembatalan atau pelanggaran tertentu berupa pembebasan budak, puasa, menyembelih atau memberikan makanan dan yang lainnya.(2)

Dalam penggunaannya, kedua istilah ini sering dipakai untuk istilah yang lain, yakni terkadang fidyah dipakai dengan istilah kaffaroh. Adapun kaffaroh digunakan dengan istilah fidyah maka lebih jarang dipakai.

PEMBAGIAN FIDYAH
Perlu dipisahkan antara pembahasan fidyah dalam puasa, fidyah dalam haji, dan fidyah dalam tawanan perang. Karena istilah ini disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dalam tiga pembahasan tersebut.(3)

1. Fidyah Dalam Puasa
Fidyah yang berkaitan dengan ibadah puasa adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Alloh Azza wa Jalla:
"…Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. al-Baqarah [2]: 184)

2. Fidyah Dalam Ibadah Haji
Fidyah yang berkaitan dengan ibadah haji adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Alloh Azza wa Jalla:
"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umroh karena Alloh. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum qurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan dikepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya membayar fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berqurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umroh sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) qurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Alloh dan ketahuilah bahwa Alloh sangat keras siksa-Nya. "(QS. al-Baqarah [2]: 196)

dan sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abdulloh bin Ma’qil Rodhiyallohu Anhu, ia berkata, “Aku duduk menghadap Ka’ab bin Malik Rodhiyallohu Anhu ketika ia berada di dalam masjid, lalu saya bertanya tentang ayat ini:
… maka wajiblah atasnya membayar fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berqurban... Maka Ka’ab berkata, “Ayat ini turun tentang diriku. Dahulu aku memiliki penyakit di kepalaku lalu aku di bawa kepada Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam, yang mana tatkala itu kutu bertebaran di atas wajahku. Maka beliau bersabda:
“Tidak pernah aku melihat sebelumnya sebuah beban berat yang menimpa dirimu seperti yang aku lihat sekarang ini. Apakah engkau memiliki seekor domba?” Saya menjawab, “Tidak.” Maka turunlah ayat ini:
… maka wajiblah atasnya membayar fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berqurban...’ Kemudian beliau Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
‘Puasa tiga hari atau memberi makan enam orang miskin, setiap orang setengah sho’ makanan pokok.'
Ka’ab berkata, ‘Ayat ini turun berkaitan dengan diriku secara khusus dan (hukumnya) kalian secara umum.’” (HR. Ahmad: 17413)

3. Fidyah Dalam Tawanan Perang
Fidyah dalam tawanan perang lebih dikenal dengan sebutan fida’, sebagaimana dalam firman Alloh Azza wa Jalla:
"Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Alloh menghendaki niscaya Alloh akan membinasakan mereka tetapi Alloh hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang mati syahid pada jalan Alloh, Alloh tidak akan menyia-nyiakan amalan mereka." (QS. Muhammad [47]: 4)

PERBEDAAN FIDYAH DALAM PUASA, HAJI, DAN TAWANAN PERANG
Sebagaimana telah disebutkan dalam ayat di atas bahwa terdapat perbedaan antara fidyah dalam puasa dan fidyah dalam haji. Fidyah dalam puasa hanyalah dengan memberi makan orang miskin saja. Sementara fidyah dalam haji terdapat tiga pilihan, yaitu: berpuasa tiga hari, memberi makan enam orang miskin sebanyak setengah sho’ untuk masing-masing orang (sebagaimana hadits diatas), atau menyembelih seekor kambing. Adapun fidyah dalam tawanan, maka bisa berupa tawanan, sejumlah harta atau yang lainnya.

PERBEDAAN ANTARA FIDYAH DENGAN KAFFAROH
Terdapat beberapa perbedaan antara kaffaroh dengan fidyah dari beberapa sisi, di antaranya adalah bahwa kaffaroh tidak wajib melainkan karena ada perbuatan dosa atau pelanggaran yang telah dilakukan, yang mana hal ini berbeda dengan fidyah. Meskipun terkadang dalam sebagian penggunaan kedua istilah ini saling terjadi tukar-menukar antara satu dengan yang lainnya sehingga perlu adanya penyesuaian dalam maknanya.

1. Fidyah Dalam Puasa
Dalam masalah puasa terdapat perbedaan antara fidyah dengan kaffaroh, yakni bahwasanya makna fidyah adalah sebagimana yang terdapat dalam firman Alloh Azza wa Jalla:
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. “ (QS. al-Baqarah [2]: 184)

Ayat ini berkaitan dengan orang yang sudah tua atau orang-orang yang diberi kedudukan dan hukum sama seperti orang-orang yang tidak mampu berpuasa, maka ia memberikan fidyah dengan memberi makan orang yang miskin sebanyak hari yang ditinggalkannya. Hukum ini juga berlaku bagi wanita tua dan orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya.

Sebagian ulama ada yang memasukkan hukum ini bagi para wanita hamil dan menyusui dimana dikhawatirkan anak yang disusuinya atau janin yang dikandungnya akan tertimpa muadhorot oleh sebab puasa wanita tersebut. Maka dalam keadaan seperti ini ia mengqodho’ (puasanya) dan memberikan fidyah kepada orang miskin, sebagaimana akan dibahas dalam bab yang akan datang.

2. Kaffaroh Dalam Puasa
Adapun kaffaroh dalam puasa adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
Dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu Anhu, ia berkata: “Ada seseorang yang datang kepada Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu ia berkata, “Aku telah binasa wahai Rasululloh.” Beliau menjawab, “Apa yang menyebabkan engkau binasa?” Ia berkata, “Aku telah mendatangi istriku (jima’) pada siang hari bulan Romadhon”. Beliau bertanya, “Apakah engkau mempunyai seorang budak yang bisa dibebaskan?” Ia menjawab, “Tidak.” Abu Huroiroh Rodhiyallohu Anhu berkata: “Ia pun duduk, kemudian didatangkan Nabi Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam sebuah wadah besar berisi kurma, lalu beliau bersabda, “Bersedekahlah dengan ini.” Ia pun berkata, “Apakah kepada orang yang lebih miskin daripada kami? Tidak ada di antara dua sisinya (di daerah ini) sebuah keluarga yang lebih membutuhkannya daripada kami.” Nabi Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam tertawa hingga nampak gigi taring beliau. Lalu beliau bersabda, “Pergilah, dan berikanlah (kurma ini) kepada keluargamu.” (HR. Bukhori: 1800, Muslim: 1870)

Dalam riwayat Abu Dawud (I/728 no.2393) terdapat tambahan:
Abu Huroiroh Rodhiyallohu Anhu berkata, “Maka didatangkan kepada beliau Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam sebuah wadah besar yang didalamnya terdapat kurma kira-kira sebanyak lima belas sho’, kemudian beliau bersabda kepadanya, “Makanlah beserta keluargamu, berpuasalah satu hari dan beristigfarlah kepada Alloh.”(4)
Hal ini menunjukkan bahwa selain kaffaroh, ia juga harus mengqodho’ puasa yang batal dengan jima’ dan bertaubat dari perbuatan dosanya.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa kaffaroh puasa ini harus dilakukan sesuai urutan yang ada dalam hadits), yaitu yang pertama kali diusahakan adalah membebaskan budak, jika tidak memilikinya maka berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka memberikan makan kepada enam puluh orang miskin.(5)
Adapun kadar kaffaroh dengan memberi makan orang miskin dalam hal ini adalah sebanyak satu mud per satu orang miskin atau 15 sho’ untuk 60 orang miskin, sebagaimana disebutkan dalam riwayat hadits diatas.
  • Bagaimana dengan orang yang tidak mampu membayar kaffaroh?
    Adapun bagi orang yang tidak mampu membayar kaffaroh maka terdapat dua pendapat di kalangan para ulama.
    Pendapat pertama mengatakan bahwa kewajiban tersebut telah gugur karena ketidakmampuannya membayar kaffaroh, sedangkan seseorang tidak dibebani melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya. Sebagaimana dalam hadits ini Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam justru memberikan shodaqoh kepada sahabat yang mendatangi istrinya di siang hari bulan Romadhon karena ia menyatakan ketidakmampuannya.

    Pendapat kedua mengatakan bahwa ia tetap memiliki hutang dan tanggungan untuk membayarnya ketika ia mampu di kemudian hari, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits ini ketika Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak menggugurkan kewajiban membayar kaffaroh atasnya tatkala ia menyatakan ketidakmampuannya dalam menunaikan kaffaroh.

    Hal ini terlihat dari sikap Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika menyuruhnya duduk hingga didatangkan kepada beliau Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam satu wadah besar berisi kurma, lalu memerintahkan kepadanya agar membayar kaffaroh yang menjadi tanggungannya itu dengan kurma tersebut.

    Seandainya membayar kaffaroh tersebut gugur karena ketidakmampuan, tentunya Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan menyuruhnya membayar dan menunaikannya kepada orang-orang miskin. Namun kenyataannya, dalam hadits ini Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam justru memerintahkan kepadanya untuk membayarkan kurma tersebut sebagai kaffaroh baginya. Hal ini sekaligus sebagai dalil bahwa seseorang bisa membayarkan kaffaroh yang menjadi tanggungan orang lain.

    Pendapat ini di nukil dari al-Imam asy-Syafi’i dalam salah satu riwayat dari dua pendapat beliau, dan inilah yang dirojihkan aleh al-Imam an-Nawawi Rahimahulloh.(6)
  • Bagaimana dengan istri yang diajak berjima’, apakah juga wajib membayar kaffaroh?
    Jumhur berpendapat bahwa istri juga wajib membayar kaffaroh, dengan dasar bahwa Nabi Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan kepada istri karena hanya suaminya yang mengaku, sehingga tidak terkena hukum, sebagaimana dalam masalah zina; atau karena ada kemungkinan istrinya tidak sedang berpuasa karena bersihnya dia dari haid atau nifas baru setelah terbit fajar, atau karena kefakirannya; atau karena kemungkinan yang lain.

    Pendapat kedua mengatakan akan tidak wajibnya kaffaroh bagi wanita karena dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kaffaroh tersebut hanya wajib bagi laki-laki saja, karena Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan kepada sahabat tersebut untuk membayarkan kaffaroh istrinya. Seandainya kaffaroh wajib bagi istrinya juga, tentu tidaklah patut bagi Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan dan pada saat terdapat beberapa kemungkinan pada sebuah perkara, sebagaimana dalam hadits ini. Demikian pula tidak dinukil dari sahabat yang mengamalkan kaffroh bagi wanita yang dijima’i.
    Pendapat ini di nukil dari salah satu pendapat yang paling shohih dari al-Imam asy-Syafi’i dan juga pendapat al-Auza’i. Dan inilah pendapat yang lebih rojih (kuat), Insya Alloh.
  • Bagaimana kewajiban fidyah dan kaffaroh berkaitan dengan puasa selain Romadhon?
    Yang perlu diketahui adalah bahwa kaffaroh ini hanya untuk puasa Romadhon saja, bukan untuk puasa yang lain, seperti puasa qodho’, puasa nadzar, puasa kaffaroh, dan puasa nafilah (sunnah).
    Adapun puasa selain Romadhon maka tidak ada kaffarohnya, tetapi hanya wajib menqodho’nya saja. Dan ini adalah pendapat jumhur fuqoha’ (kebanyakan ahli fiqih), sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi Rohimahulloh dalam al-Mughni 3/138.

WANITA HAMIL DAN MENYUSUI
Terdapat perbedaan pendapat yang sangat kuat di antara para ulama tentang masalah ini. Berikut ini kami paparkan beberapa pendapat yang kuat di kalangan para ulama tersebut:
  1. Keduanya wajib membayar fidyah saja dan tidak mengqodho’. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu Anhu dan Ibnu Umar Rodhiyallohu Anhu.
  2. Keduanya wajib mengqhodo’ saja dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Ini adalah pendapat al-Hasan al-Bashri, ‘Atho, Ibrohim an-Nakho’i. az-Zuhri, adh-Dhohak, al-Auza’I, Robi’ah, dan Sufyan ats-Tsauri. Dan inilah juga pendapat Abu Hanifah dan Hanafiyyah, al-Laits bin Sa’ad dan ath-Thobari, Abu Tsaur. Abu ‘Ubaid dan yang lainnya serta pendapat Malikiyyah.
  3. Keduanya wajib menqhodo’ dan sekaligus membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mujahid dan al-Imam asy-Syafi’I dalam salah satu pendapat beliau, dan al-Imam Ahmad.
  4. Wajib bagi wanita yang menyusui untuk mengqhodo’ dan membayar fidyah. Adapun wanita yang hamil hanya mengqodho’ saja. Ini adalah pendapat al-Imam Malik dan salah satu pendapat al-Imam asy-Syafi’I yang lain.
  5. Keduanya memilih antara qodho dan fidyah, jika mengqodho’ maka fidyah gugur baginya dan jika ia membayar fidyah maka tidak mengqodho’nya. Pendapat ini dinukil dari Ishaq bin Rohawaih.
Secara qiyas (penyerupaan hukum) pendapat kedua memiliki kekuatan lebih, dimana mereka merojihkan pendapat ini (bahwa wanita hamil dan menyusui hanya wajib mengqodho’ saja dan tidak membayar fidyah) karena penyerupaan wanita hamil dan menyusui lebih dekat kepada orang sakit yang mungkin diharapkan kesembuhannya atau musafir, bukan kepada orang yang sudah tua yang mana tidak mampu lagi untuk melaksanakan puasa.

Selain itu mereka berdalil dengan hadits:
Dari Anas bin Malik(7) Rodhiyallohu Anhu bahwa seseorang dari Bani Abdulloh bin Ka’ab berkata: “Pasukan berkuda Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam telah mendatangi kami dengan tiba-tiba. Maka saya pun mendatangi Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam dan saya mendapati beliau sedang makan siang, lalu beliau bersabda, “Kemarilah dan makanlah”, saya menjawab, “saya berpuasa”, beliau berkata, “Mendekatlah, aku akan menceritakan kepadamu tentang puasa. Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla menggugurkan setengah sholat bagi musafir, dan puasa bagi orang yang hamil dan menyusui”, ”Dan demi Alloh, sungguh Nabi Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam telah berkata keduanya atau salah satu dari keduanya. Duhai menyesalnya diriku, mengapa aku tidak merasakan makanan Nabi Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Tirmidzi: 649, Ibnu Majah: 1657, Ahmad: 18270, al-Albani Rohimahulloh mengatakan: hasan shohih. Lihat Shohih Sunan Tirmidzi: 715 dan Shohih Sunan Ibnu Majah: 1667)

Namun hadits ini tidaklah shorih (tegas) dalam menafikan (meniadakan hukum) fidyah dari wanita hamil dan menyusui ataupun keharusan untuk menqodho’nya. Dan pendapat (kedua) ini dirojihkan (dikuatkan) oleh Lajnah Da’imah Lillfta’ Saudi Arabia.(8)

Namun, dilihat dari sisi riwayat, pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat di antara beberapa pendapat diatas, karena pendapat ini adalah pendapat yang dinukil dari sahabat Ibnu Abbas Rodhiyallohu Anhu dan Ibnu Umar Rodhiyallohu Anhu, dimana keduanya menyebutkan pendapat tersebut dalam rangka menjelaskan ayat dan sebab turunnya ayat.

Maka dari sini dapat dipahami bahwa riwayat dari keduanya ini bisa dihukumi marfu’ (bisa disandarkan pada Nabi Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam) secara hukum dan bukan hanya sekedar mauquf (disandarkan pada sahabat) saja. Dan tidak dinukil dari seorang sahabat pun yang menyelisihi pendapat tersebut, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni 3/21.

Adapun riwayat dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu Anhu yang diperselisihkan pemahamannya, yaitu tentang penyebutan dua riwayat dari beliau yang seakan-akan bertentangan, yang mana di satu riwayat beliau menyatakan ayat fidyah diatas adalah mansukh, dan di riwayat yang lain beliau menyatakan tidak mansukh: sebenarnya tidaklah bertentangan, dengan alasan:
  1. Karena istilah mansukh memiliki dua makna dalam istilah salaf. Dan salah satu maknanya adalah takhshish (pengkhususan) terhadap dalil yang umum atau penjelasan terhadap dalil yang global atau yang semakna dengannya. Dan penggunaan istilah mansukh dengan makna ini banyak dipakai oleh kalangan salaf.
  2. Karena dalam ayat tersebut Ibnu Abbas Rodhiyallohu Anhu membaca kalimat yuthiyqûnahu (yang mampu melakukan puasa) dengan bacaan yuthoyyaqûnahu yang artinya melakukannya dengan sangat berat. Sehingga hukumnya tetap berlaku bagi mereka dan tidak di mansukh, sebagaimana yang dinukil dari Salamah bin al-Akwa’ Rodhiyallohu Anhu dan Ibnu Umar Rodhiyallohu Anhu.(9)
Kesimpulannya, bahwa madzhab sahabat lebih didahulukan daripada yang lainnya, walaupun mungkin secara qiyas pendapat yang lain lebih kuat. Namun, jika tidak dinukil adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat maka ini adalah hujjah atas pendapat selain atau yang datang setelah mereka. Wallohu ‘alam bishshowaab.

Kepada siapa fidyah dan kaffaroh itu diberikan?
Berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah serta apa yang dipahami dan diamalkan oleh para sahabat, menunjukkan bahwa fidayah dan kaffaroh dalam bentuk ith’am (memberi makan) adalah diberikan kepada fakir dan miskin saja, dan bukan kepada yang lain.

Adapun apa yang disebutkan di dalam ayat fidyah haji yang hanya menyebutkan shodaqoh saja tanpa keterangan kepada siapa shodaqoh itu diberikan, hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa yang dimaksud dengan shodaqoh dalam fidyah haji adalah memberi makan kepada enam orang miskin. Seandainya ada golongan yang lain yang berhak diberi fidyah, tentu telah dijelaskan oleh Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam dan juga oleh para sahabatnya.

Demikian pula fidyah yang ditujukan kepada anak-anak yatim kecuali jika mereka tergolong dalam kategori fakir dan miskin. Wallohu ‘alam.

Catatan:
1 Mu’jam Lughotil Fuqoha’ 1/341,
2 Mu’jam Lughotil Fuqoha’ 1/382, Lisanul ‘Arob 5/144, an-Nihayah fi Ghoribil Atsar 4/340
3 Mu’jam Lughotil Fuqoha’ 1/341,
4 Tambahan ini dishohihkan oleh al-Imam al-Albani Rohimahulloh dalam Irwa’ul Gholil 4/90-93
5 Ini adalah pendapat yang dirojihkan (dikuatkan) oleh Ibnu Qudamah Rohimahulloh dalam al-Mughni 3/140 dan asy-syaukani dalam Nailul Author 4/240
6 Syarah Shohih Muslim 3/182-183
7 Bukan Anas bin Malik al-Anshori Rodhiyallohu Anhu, pelayan Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam. Ia hanya meriwayatkan dari Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam satu hadits saja, yaitu hadits ini
8 Fatawa Islamiyyah 1/396
9 Shohih Bukhori kitab at-Tafsir bab Tafsir surat al-Baqarah ayat 184, 4/1637-1638 hadits 4235-4237


Dinukil dari Majalah Keluarga Islami al-Mawaddah. Suplemen al-Mawaddah. Edisi Khusus Tahun Ke-2. Romadhon-Syawwal 1429 H. September-Oktober 2008. 

0 Responses to "FIDYAH DAN KAFFAROH PUASA"

Leave a Reply