| Subcribe via RSS

Browse > Home / / Blog Article: HADITS-HADITS DHA’IF DAN MAUDHU YANG BANYAK BEREDAR PADA BULAN RAMADHAN

HADITS-HADITS DHA’IF DAN MAUDHU YANG BANYAK BEREDAR PADA BULAN RAMADHAN

Minggu, 22 Agustus 2010 | Posted in

hadits dhaif dan maudhu
Oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Hadits Pertama:
Tentang Ganjaran Orang Yang Melaksanakan Ibadah Puasa dan Shalat Tarawih
Dari Nadhr bin Syaiban, ia mengatakan,’Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah, aku mengatakan kepadanya,’ Ceritakan kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari bapakmu (maksudnya Abdurrahman bin Auf) tentang Ramadhan.’ Ia mengatakan,’Ya, bapakku (maksudnya Abdurrahman bin Auf) pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah pernah menyebut bulan Ramadhan lalu bersabda, ’ Bulan yang Alloh telah mewajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunnahkan buat kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan dasar iman dan mengharapkan ganjaran dari Alloh, niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya. (HR. Ibnu Majah,no.1328 dan Ibnu Khuzaimah no.2201 lewat jalur periwayatan Nadhr bin Syaiban).
Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin Syaiban itu layyinul hadits (orang yang haditsnya lemah), sebagaimana dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Taqrib beliau.
Ibnu Khuzaimah juga telah menilai hadits ini lemah dan beliau mengatakan bahwa hadits yang sah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.


Hadits yang beliau maksudkan yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan ulama hadits lainnya lewat jalur Abu Hurairah. Rasulullah bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang shalat (qiyam Ramadhan atau Tarawih) dengan dasar iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosanya yang telah lalu.”



Juga ada sabda Rasulullah dalam hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim, yaitu:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji dan tidak jima’ juga tidak fasiq, niscaya dia akan kembali seperti hari dia dilahirkan oleh sang ibu.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Hadits Kedua:
Tentang Puasa Itu Setengah Dari Kesabaran
وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ وَالطُّهُوْرُ نِصْفُ اْلإِيْمَانِ
“Puasa itu setengah kesabaran dan kesucian itu setengahnya iman.”
Dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no.3519 dalam Kitab ad-Da’awat, juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad beliau (4/260 dan 5/363) lewat jalur periwayatan Juraisy an-Nahdhi dari seorang laki-laki bani (suku) Sulaim.
Sanad hadits ini dhoif, karena Juraisy bin Kulaib ini adalah seorang yang majhul (tidak dikenal), sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Madini (lihat, Tahdzibut Tahdzib, 2/78 karya Ibnu Hajar).
Hadits dhaif lainnya yang senada yaitu :
مَنْ أَبِيْ هَرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ، الصِّياَمُ نِصْفُ الصَّبْرِ
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan,”Rasulullah bersabda,’Segaka sesuatu itu ada zakatnya. Zakat badan adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran.’” (HR.Ibnu Majah no.1745 lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhan dari Abu Hurairah)
Sanad hadits ini lemah, karena Musa bin Ubaidah dinilai haditsnya lemah oleh sekelompok ulama ahli hadits, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tahdzib, 10/318-320. Beliau ini seorang yang shalih dan ahli ibadah, akan tetapi lemah dalam periwayatan hadits.
Al-Hafizh dalam kitab Taqribnya mengatakan,”Dhaif”.
Hadits yang sah tentang hal ini adalah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda kepada seorang lelaki dari suku Bahilah dalam hadits yang panjang, dalam hadits yang panjang tersebut terdapat kalimat:
صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ رَمَضَانَ
“Berpuasalah pada bulan kesabaran yaitu Ramadhan.” (HR.Ahmad dengan sanad shahih)
Hadits yang lain yaitu hadits yang diriwayatkan lewat jalur Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda tentang bulan Ramadhan:
شَهْرُ الصَّبْرِ
Bulan kesabaran (Ramadhan).”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/263,384 dan 513), juga dikeluarkan oleh Imam Nasa’i (3/218-219). Dan hadits lain lewat jalur periwayatan a’rabiyun sebagaimana dalam Majma’uz Zawaid (3/196) oleh al Haitsami.
Hadits Ketiga:
Tentang Ramadhan Di Bagi Tiga
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ (و في رواية: ووَسَطُهُ) مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhan itu rahmat, tengahnya adalah maghfirah (ampunan) dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka.” (HR.Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asakir, Dailami dan lain-lain lewat jalur periwayatan Abu Hurairah.)
Hadits ini sangat lemah. Silahkan lihat kitab Dha’if Jami’is Shagir no.2134 dan Faidhul Qadir no.2815.
Hadits lemah yang senada dengan hadits diatas yaitu:
Dari Salma al-Farisi, dia mengatakan,”Rasulullah pernah berkhutbah dihadapan kami pada hari terakhir bulan Sya’ban. Beliau bersabda,’Wahai manusia,sungguh bulan yang agung dan penuh barakah akan datang menaungi kalian, bulan yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Alloh menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang beribadah pada bulan tersebut dengan satu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan satu ibadah wajib  pada bulan yang lain. Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban pada bulan itu, maka sama dengan menunaikan tujuh puluh ibadah wajib pada bulan yang lain. Itulah bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga…itulah bulan yang awalnya adalah rahmat,pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka… (HR.Ibnu Khuzaimah no.1887 dan lain-lain)
Sanad hadits ini dhaif (lemah), karena ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid Jud’an. Orang ini seorang perawi yang lemah sebagaimana diterangkan oleh Imam Ahmad, Yahya,Bukhari,Daruquthni, Abu hatim dan lain-lain.
Ibnu Khuzaimah sendiri mengatakan,”Aku tidak menjadikannya sebagai hujjah karena hafalannya jelek.” Imam Abu Hatim mengatakan,”Hadits ini mungkar.”
Silahkan lihat kitab Silsilah ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah no.871,at-Targhib wat Tarhib 2/94 dan Mizanul I’tidal 3/127.
Hadits Keempat:
Tentang Tidur dan Diamnya Orang Yang Berpuasa
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلىَ فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa itu tetap dalam kondisi beribadah meskipun dia tidur di atas kasurnya.” (HR.Tamam)
Sanad hadits ini dha’if, karena dalam sanadnya terdapat yahya bin Abdullah bin Zujaj dan Muhammad bin Harun bin Muhammad bin Bakar bin Hilal. Kedua orang ini tidak ditemukan keterangan tentang jati diri mereka dalam kitab Jarh wa Ta’dil (yaitu kitab-kitab yang berisi keterangan tentang cela atau cacat ataupun pujian terhadap para rawi). Ditambah lagi, dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang bernama Hasyim bin Abu Hurairah al Himshi. Dia seorang perawi yang majhul (tidak diketahui keadaan dirinya), sebagaimana dijelaskan oleh adz-Dzahabi dalam kitab beliau Mizanul I’tidal. Imam Uqaili mengatakan,”Orang ini haditsnya mungkar.”
Ada juga hadits lain yang semakna dengan hadits di atas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Dailami dalam kitab Musnad Firdaus lewat jalur Anas bin malik dengan lafazh:
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ ناَئِمًا عَلَى فِرَاشِهِ
Orang yang berpuasa itu tetap dalam ibadah meskipun dia tidur di atas kasurnya.”
 Sanad hadits ini maudhu (palsu), karena ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl. Orang ini termasuk pemalsu hadits, sebagaimana diterangkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab ad-Dhu’afa.
Silahkan, lihat kitab Silsilah ad-Dha’ifah wal Maudhu’ah no.653 dan kitab Faidhul Qadir no. 5125.
Ada juga hadits lain yang semakna (artinya):
“Tidurnya oarng yang sedang berpuasa itu ibadah, diamnya merupakan tasbih, amal perbuatannya (akan dibalas) dengan berlipat ganda, doanya mustajab dan dosanya diampuni.” (Di keluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan lain-lain dari jalur periwayatan Abdullah bin Abi Aufa.)
Sanad hadits ini maudhu’, karena dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Sulaiman bin Amr an-Nakha’i, seorang pendusta (lihat, Faidhul Qadir no.9293, Silsilah Dha’ifah no.4696)
Hadits Kelima:
Tentang Doa Buka Puasa
Dari  Ibnu Abbas, beliau mengatakan,”Rasulullah apabila hendak berbuka, beliau mengucapkan:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْناَ فَـتَـقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Wahai Alloh! Untuk-Mu kami berbuka dan dengan rezeki dari-Mu kami berbuka. Ya Alloh! Terimalah amalan kami! Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Diriwayatkan oleh Daruquthni dalam kitab Sunan beliau, Ibnu Sunni dalam kitab ‘Amalul Yaumi wal Lailah no.473 dan Thabrani dalam kitab al-Mu’jamul Kabir)
Sanad hadist ini sangat lemah (dh’ifun jiddan), karena:
Pertama, ada seorang rawi yang bernama Abdul Malik bin Harun bin Antarah. Orang ini adalah seorang rawi yang sangat lemah.
-          Imam Ahmad mengatakan, “Abdul Malik itu dha’if.”
-          Imam Yahya,”Dia seorang pendusta (kadzdzab).”
-          Sementara Ibnu Hibban mengatakan,”Dia seorang pemalsu hadits.”
-          Imam Sa’di mengatakan,”Dajjal (pendusta).”
-          Imam Dzahabi,”Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits.”
-          Imam Abu Hatim mengatakan,”Matruk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para ulama).”
Kedua, Dalam sanad hadits ini terdapat juga orang tua dari Abdul Malik yaitu Harun bin Antarah. Dia ini seorang rawi yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Imam Daruquthni menilainya lemah, sedangkan Ibni Hibban telah mengatakan,”Munkarul hadist (orang yang haditsnya diingkari), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya.”
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar, Al Haistami dan Syaikh al-Albani dan lain-lain. Silahkan para pembaca melihat kitab-kitab;Mizanul I’tidal (92/666)Majma’uz Zawa’id (3/156 oleh Imam Haitsami), Zadul Ma’ad dalam kitab Shiyam oleh Imam Ibnul Qoyyim dan Irwa’ul Ghalil (4/36-39 oleh Syaikh al Albani).
Hadits dhaif lainnya tentang doa berbuka yaitu:
Dari Anas, beliau mengatakan,”Rasulullah apabila berbuka, beliau mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلىَ رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dengan nama Alloh, Ya Alloh karena-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki dari-Mu aku berbuka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab al-Mu’jamus Shagir hlm 189 dan al-Mu’jam Ausath.
Sanad hadits ini lemah (dhaif), karena
Pertama, dalam sanad hadits ini terdapat Ismail bin Amar al Bajali. Dia adalah seorang rawi yang lemah. Imam Dzahabi mengatakan dalam kitab adh-Dhu’afa,”Bukan hanya satu orang saja yang melemahkannya.”
Imam Ibnu Adi mengatakan,”Orang ini sering membawakan hadits-hadits yang tidak boleh diikuti.”
Imam Abu Hatim mengatakan,”Orang ini lemah.”
Kedua,dalam sanadnya terdapat Dawud bin az-Zibriqan. Syaikh Albani mengatakan,”Orang ini lebih jelek daripada Ismail bin Amr al Bajali.”
Sementara itu, Imam Abu Dawud, Abu Zur’ah dan Ibnu Hajar memasukkan orang ini ke golongan matruk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama ahli hadits).
Imam Ibnu Adi mengatakan,”Biasanya apa yang diriwayatkan oleh orang ini tidak boleh diikuti.” (Lihat, Mizanul I’tiqad,2/7)
Masih tentang doa berbuka, ada hadits dhaif lainnya yang senada yaitu:
Dari Mu’adz bin Zuhrah, telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah apabila hendak berbuka, beliau mengucapkan:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلىَ رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Alloh karena-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki dari-Mu aku berbuka.”
Hadits ini dhaif (lemah). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud no.2358, al-Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Sunni. Lafazh hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, hanya beda dalam kalimat awalnya. Hadits ini lemah karena ada dua illah (penyebab):
Pertama, mursal (1). Karena Mu’adz bin Zuhrah, seorang tabi’in bukan sahabat Rasulullah.
Kedua, juga karena Mu’adz bin Zuhrah ini seorang rawi yang majhul, tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Hushain bin Abdurrahman. Sementara Ibnu Abi hatim dalam kitab beliau Jarh wa Ta’dil  tidak menerangkan tentang celaan maupun pujian untuknya.
Sebatas yang saya ketahui, tidak ada satu riwayatpun yang sah tentang doa berbuka puasa kecuali riwayat dibawah ini:
Dari Ibnu Umar, adalah Rasulullah apabila berbuka puasa, beliau mengucapkan:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Dahaga telah lenyap, urat-urat telah basah dan pahala atau ganjaran tetap ada insyaAlloh.”
Hadits ini hasan riwayat Abu dawud no.2357, Nasa’i 1/66, Daruquthni, ia mengatakan,”Sanad hadits ini hasan.”, al Hakim 1/422 dan Baihaqi 4/239. Syaikh al-Albani sepakat dengan penilai Daruquthni terhadap hadits ini.
Sebatas yang saya ketahui, semua rawi (orang-orang yang meriwayatkan) hadits ini adalah tsiqah (terpercaya) kecuali Husain bin Waqid. Dia seorang rawi yang tsiqah namun memiliki sedikit kelemahan (2), sehingga tepatlah kalau sanad hadits ini dinilai hasan.
Hadits Keenam:
Tentang Keutamaan I’tikaf
مَنِ اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ
“Barangsiapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Ramadhan, maka dia seperti telah menunaikan haji dan umrah dua kali.
Diriwayatkan oleh al-baihaqi dalam kitab beliau Syu’abul Iman dari Husian bin Ali bin Abi Thalib. Hadits ini maudhu.
Syaikh al-Albani dalam kitab beliau Dha’if Jami’ish Shaghiir no.5460 mengatakan,”Maudhu.” Kemudian beliau menjelaskan penyebab kepalsuan hadits ini dalam kitab beliau Silsilah ad-Dha’ifah no.518.
Hadits dha’if lain yang hampir senada yaitu:
“Barangsiapa yang beri’tikaf atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat.”
Hadits dhaif riwayat Dailami dalam Musnad Firdaus. Al-Munawi dalam kitab beliau Faidhul Qadir, syarah Ja’mi Shaghir 6/74 no. 8480 mengatakan,”Dalam hadits ini terdapat rawi yang tidak aku ketahui.”
Hadits Ketujuh:
Tentang Berandai-Andai Ramadhan Sepanjang Tahun
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُمَا (في) رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةُ كٌلَّهَا
“Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada pada bulan Ramadhan, niscaya semua umatku berharap agar Ramadhan itu sepanjang tahun.”
Maudhu’. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no.1889 lewat jalur periwayatan Jarir bin Ayyub al Bajali, dari as-Sya’bi dari Nafi bin Burdah, dari Abu Mas’ud al-Ghifari-ia mengatakan,”Suatu hari, aku mendengar Rasulullah pernah bersabda,” (lalu beliau menyebutkan hadits di atas).
Imam Ibnul Jauzi membawakan hadits di atas dalam kitab beliau al-Maudhu’at 2/189 lewat jalur priwayatan Jarir bin Ayyub al Bajali dari Sya’bi dari Nafi bin Burdah dan Abdullah bin Mas’ud. Kemudian beliau mengatakan,”Hadits ini maudhu (palsu) dipalsukan atas nama Rasulullah. Orang yang tertuduh telah memalsukan hadits ini adalah Jarir bin Ayyub.
Yahya mengatakan,’Orang ini tidak ada apa-apanya (laisa bi syai-in).’
Fadhl bin Daukain mengatakan,’Dia termasuk orang yang biasa memalsukan hadits.’
An-Nasa’i dan Daruquthni mengatakan,’Matruk (orang yang haditsnya tidak dianggap).’”
Imam Syaukani dalam kitab al-Fawaidul Majmu’ah Fil Ahaditsil Maudhu’ah no.254 mengomentari hadits di atas,”Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la lewat jalur Abdullah bin Mas’ud secara marfu. Hadits ini maudhu (palsu). Kerusakannya ada pada Jarir bin Ayyub dan susunan lafazhnya merupakan susunan yang bisa dinilai oleh akal bahwa itu adalah hadits palsu.’
Hadits Kedelapan:
Tentang Ramadhan Bulan Terbaik Bagi Kaum Muslimin
مَا أَتىَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ شَهْرٌ خَيْرٌ لَهُمْ مِنْ رَمَضَانَ وَلاَ أَتَى عَلىَ الْمُنَافِقِيْنَ شَهْرٌشَرٌّمِنْ رَمَضَانَ
“Tidak ada bulan yang datang kepada kaum muslimin yang lebih baik daripada Ramadhan. Dan tidak datang kepada kaum munafiqin bulan yang lebih buruk daripada bulan Ramadhan.”
Hadits ini dhaif. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/330, Fathurrabbani,9/231-232), Ibnu Khuzaimah no.1884 dan lain-lainnya.Semua riwayat ini melalui jalur periwayatan Katsir bin Zaid dari Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu’.
Al-Haitsami dalam kitabnya Majma’uz Zawaid 3/140-141 mengatakan,”Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani dalam kitabnya al-Ausath dari Tamim dan aku tidak menemukan riwayata hidup Tamim.” Maksud Tamim (bapaknya Amr) seorang perawi yang majhul.
Dalam kitab Mizanul I’tiqad 3/249, adz-Dzahabi mengatakan,”Amr bin Tamim dari bapaknya Abu Hurairah tentang keutamaan bulan Ramadhan. Dan dari Amr, hadits ini diriwayatkan oleh Katsir bin Zaid. Tentang Amr bin Tamim, Imam Bukhari mengatakan,’Haditsnya perlu diteliti (Fi haditsihi nazhar).”
Ini adalah salah satu istilah Imam Bukhari dalam mengkritik dan menerangkan cacat perawi yang sangat halus akan tetapi makna dan maksudnya dalam sekali. Apabila Imam Bukhari mengatakan,”Fiihi nazhar atau fi haditsihi nazhar, maka perawi itu derajatnya lemah atau bahkan sangat lemah.”
Hadits Kesembilan:
Tentang Mengqadha Puasa Ramadhan Dengan Cara Berturut-Turut
مَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلاَ يَقْطَعْهُ
“Barangsiapa yang memiliki tanggungan shaum (puasa) Ramadhan, maka hendaknya dia mengqadha’nya dengan cara berturut-turut dan tidak diputus-putus (selang-seling).”
Hadits ini dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh Daruquthni dalam Sunannya 2/191-192 dan al-Baihaqi dalam Sunan beliau 2/259 lewat jalur Abdurrahman bin Ibrahim al Qash dari ‘Ala bin Abdrurrahman dari bapaknya dAbu Hurairah (ia mengatakan), Rasulullah bersabda (seperti hadits diatas).
Sanad hadits ini dhaif (lemah), karena Abdurrahman bin Ibrahim al Qash adalah seorang rawi yang dhaif (lemah).
Ad-Daaruquthni mengatakan,”Abdurrahman bin Ibrahim al Qash adalah dha’iful hadits (orang yang haditsnya lemah).
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Talkhishul Habir 2/260 no.920 mengatakan,”Ibnu Abi Hatim telah menerangkan bahwa bapaknya yaitu Abu Hatim telah mengingkari hadits ini karena ada Abdurrahman.”
Al-Baihaqi mengatakan,”Dia (Abdurrahman bin Ibrahim al Qash) telah dinilai lemah oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i dan Daruquthni.”
Adz-Dzahabi dalam kitab Mizanul I’tiqad 2/545,”Diantara hadits-hadits mungkarnya adalah….(kemudian beliau membawakan hadits di atas).
Ada juga hadits dhaif lainnya yang bertentangan dengan hadits dhaif di atas yaitu:
Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan,”Sesungguhnya Nabi telah bersabda tentang qadha’ Ramadhan,’Jika ia mau, dia bisa mengqadha’nya dengan dipisah-pisah (selang-seling) dan jika dia mau, dia juga bisa mengqadha’nya secara berturut-turut (tanpa diselang-seling).”
Hadits ini dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleg Daruquthni 2/193 lewat jalur periwayatan Sufyan bin Bisyr, ia mengatakan,’ Kami telah diberitahu oleh Ali bin Mishar dari Ubaidullah bin Umar dari Nafi dari Ibnu Umar, dia mengatakan (seperti hadits diatas)
Sebatas yang saya ketahui, sanad hadits ini dhaif karena Sufyan bin Bisyr adalah seorang perawi majhul, sebagaimana telah ditegaskan oleh Syaikh al-Albani, karena beliau tidak mendapatkan riwayat hidupnya. Kemudian Syaikh al-Albani mengatakan,”Ringkasnya, tidak ada satu pun hadits marfu’ yang sah yang menerangkan (mengqadha’ shaum Ramadhan) dengan selang-seling dan tidak juga berturut-turut. Pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) ialah boleh mengqadha’ dengan cara keduanya, sebagaimana pendapat Abu Hurairah (Lihat Irwa’ul Ghalil 4/97)
Demikian beberapa contoh hadits dhaif bahkan sebagiannya maudhu’ yang banyak beredar dan sering diulang-ulang penyampaiannya di atas mimbar pada bulan Ramadhan. Semoga naskah singkat ini bisa menjadi pengingat bagi kita untuk tidak lagi menjadikan hadits-hadits di atas sebagai hujjah dalam beramal. Cukuplah bagi kita mengikuti hadits-hadits shahih atau hadits-hadits yang layak dijadikan sebagai hujjah. Semoga Alloh senantiasa membimbing kita untuk mengikuti Rasulullah dengan cara mengamalkan hadits-hadits yang tsabit dari Rasulullah.
Footnote:
  1. Hadits mursal yaitu hadits yang diriwayatkan langsung dari Rasulullah oleh tabi’in tanpa perantara Sahabat.
  2. Lihat Tahdzibut Tahdzib  2/373

Dinukil dari Majalah As Sunnah Edisi Khusus No.04-05 /Th.XIV, Ramadhan-syawal 1431H/Agustus-September 2010M



0 Responses to "HADITS-HADITS DHA’IF DAN MAUDHU YANG BANYAK BEREDAR PADA BULAN RAMADHAN"

Leave a Reply