| Subcribe via RSS

Browse > Home / / Blog Article: Nasehat Bagi Para Da’i Salafy

Nasehat Bagi Para Da’i Salafy

Selasa, 26 Oktober 2010 | Posted in


Nasehat bagi para da’i salafy
Oleh : Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin
Diantara adab para dai yang wajib untuk mereka jalankan, adalah tolong menolong diantara mereka. Dan tidak selayaknya mereka berkeinginan agar ucapannya saja yang diterima dan harus didahulukan dari pada orang lain. Tapi semestinya keinginan seorang dai adalah agar dakwah (kebenaran), diterima baik lewat dirinya atau orang lain. Selama keinginan anda adalah tegaknya agama Allah (di muka bumi) maka jangan anda perdulikan darimana kebenaran itu kan menyebar, apakah dari anda atau yang lainnya.
Memang benar bahwa seseorang berkeinginan agar kebaikan itu berada ditangannya, tapi tidak boleh dia membenci kalau seandainya kebaikan itu juga ada ditangan orang lain. Yang wajib baginya adalah agar agama Allah tegak darimana saja datangnya. Jika seorang dai telah membangun pemikirannya di atas kaidah ini, maka dia akan membantu saudaranya dalam berdakwah di jalan Allah meskipun manusia lebih banyak condong kepada orang lain dari pada dirinya.
Yang wajib bagi para dai adalah bergotong-royong diantara mereka dan saling bermusyawarah, berpijak di atas satu pijakan dan berjuang karena Allah baik berdua-dua, atau bertiga atau berempat (QS. Saba’ : 46)
Jika kita telah melihat bahwa para dai penyesat bisa bersatu dan bahu-membahu, maka mengapa dai kebenaran tidak mengamalkan hal ini? Agar mereka bisa nasehat-menasehati kalau ada yang salah, baik dalam keilmuan maupun metode dakwah atau yang lainnya.

Seandainya kita mau memperhatikan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah maka kita akan mendapati bahwasanya Allah ta’ala telah mensifati orang-orang mukmin dengan sifat-sifat yang menunjukkan bahwa mereka itu saling bersatu dan tolong- menolong. Allah ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 71)
Dan Allah juga berfirman :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran : 104-105)
Sesungguhnya setan merasukkan kedalam hati seorang dai, kebencian terhadap dai semisalnya jika sukses dalam berdakwah. Dia tidak senang jika ada yang berhasil sepertinya dalam berdakwah, bahkan dia amat benci jika orang lain lebih maju dan lebih diterima oleh manusia. Oleh karena inilah Syaikhul Islam -rahimahullah- berkata tentang definisi hasad: “Hasad adalah kebencian seseorang terhadap nikmat Allah yang dianugerahkan kepada orang lain. Meskipun yang masyhur dikalangan para ulama’ bahwa hasad adalah keinginan seseorang akan hilangnya nikmat dari orang lain. Kita katakan sekali lagi bahwa hasad adalah kebencian (seseorang) akan nikmat Allah yang dianugerahkan kepada orang lain baik orang tersebut berkeinginan untuk menghilangkan nikmat tersebut atau tidak”
Wahai dai, wajib bagimu untuk menolong saudaramu sesama dai dalam dakwah, meskipun dia lebih sukses dan berhasil darimu dalam dakwah, selama anda hanya menginginkan tegaknya agama Allah.
Kemudian ketahuilah wahai saudaraku, bahwa para dai penyesat menginginkan agar para dai kebenaran terpecah belah, karena mereka tahu bahwa bersatunya (para dai kebenaran) adalah sebab keberhasilan, sedangkan perpecahan mereka adalah sebab kegagalan. Allah ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal : 46)
Tidak diragukan lagi bahwa setiap kita pasti memiliki kesalahan, oleh karenanya kita wajib tolong menolong dalam menghilangkan kesalahan tersebut, dengan cara saling berkomunikasi dan menjelaskan kesalahan tersebut. Mungkin kita menyangka itu adalah kesalahan tapi sebenarnya tidak, maka dengan cara inilah (komunikasi) kita akan tahu mana yang salah.
Adapun menjadikan kesalahan sebagai senjata untuk mencaci-maki dan menjauhkan manusia dari orang tersebut, maka ini bukanlah termasuk ciri orang-orang beriman terlebih sebagai seorang dai.
Pada akhir-akhir ini (sebagian) pemuda –alhamdulillah- mulai berjalan di atas garis yang lurus dalam berdakwah, akan tetapi ada kesalahan di dalamnya yaitu mereka berpegang teguh dengan pendapat mereka sendiri tanpa memperdulikan pendapat yang lain (dari kalangan ulama-pent), bahkan diantara mereka bersikap ujub dengan ilmu dan pemikiran yang mereka miliki meskipun kebodohan masih melekat dalam diri mereka.
Diantara kesalahannya juga, dia meremehkan orang lain dan tidak mau tunduk kepada kebenaran meskipun disebutkan kepadanya seorang imam kaum muslimin yang telah masyhur akan keilmuan, agama serta amanahnya. Dia mengatakan : “Siapa orang (alim) ini, bukankah dia lelaki dan aku juga laki-laki?!
Padahal pengakuannya sebagai laki-laki tersebut hanyalah berdasarkan kebodohannya belaka. Anda akan mendapatinya tidak bisa menggabungkan antara dalil-dalil. Dia mengambil satu dalil dan meninggalkan dalil yang lain. Dia tidak peduli jika dikatakan kepadanya : Pikirkanlah pendapatmu dan lihatlah semua dalil serta lihatlah pendapat jumhur ulama. Akan tetapi orang ini tidak mau berfikir dan menganggap yang tidak sesuai dengannya berada di atas kebatilan dan hanya dia yang berada di atas kebenaran seolah-olah dia mendapat wahyu Ilahi.
Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah metode yang salah. Tidak boleh bagi seseorang untuk meyakini, bahwa orang lain itu pasti salah dan dialah yang benar dalam perkara yang pintu ijtihad masih terbuka. Kalau orang tersebut berkeyakinan seperti ini, maka seolah-olah dia mendudukkan dirinya di singgasana kenabian dan kesucian. Jika orang lain bisa salah maka engkau juga bisa salah, dan kebenaran yang engkau dakwahkan juga didakwahkan oleh selainmu. Dari sinilah sebagian para pemuda (salafi-pent) menisbatkan dirinya kepada kelompok atau orang alim tertentu dan mengambil serta membelanya baik salah atau benar. Inilah yang menyebabkan perpecahan umat dan melemahkan kekuatan mereka. Dan hal ini menjadikan para pemuda yang berjalan di jalan agama ini sebagai bahan gunjingan dan cacian oleh kelompok sesat.
Wajib bagi kita untuk menjadi orang yang telah disifatkan oleh Allah
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al-Mukminun : 52)
Dan yang wajib bagi kita adalah menyatukan barisan, tapi bukan berarti wajib untuk kita menyatukan pendapat atau harus tak ada perselisihan (yang diperbolehkan) karena hal ini tidak mungkin terjadi. Namun saya katakan : apabila terjadi perselisihan diantara kita dalam hal yang diperbolehkan berselisih, maka yang wajib adalah menjaga hati kita agar tidak berselisih dan hendaknya hati kita tetap bersatu serta tetap cinta-mencintai (karena Allah).
Saya contohkan misalnya dalam masalah yang ringan jika dibandingkan dengan masalah penting dalam Islam yaitu duduk (istirahat) dalam shalat ketika akan naik ke raka’at kedua atau keempat, disini para ulama sebagiannya menganggap sunnah dan sebagian lagi menganggap bukan sunnah dan sebagian lagi memperinci permasalahan.
Perselisihan ini sudah masyhur, akan tetapi jika temanku dalam berdakwah berpendapat disunnahkannya duduk (istirahat) tesebut dan saya tidak sependapat dengannya, maka apakah boleh bagi kita untuk menjadikan perselisihan ini sebagai sebab kebencian kita kepada sebagian yang lain, sebagai bahan untuk kita menyebarkan (kesalahan-kesalahannya)? Tidak, demi Allah ini tidaklah diperbolehkan. Apabila para sahabat g berselisih dalam masalah yang lebih besar dari ini, sedang mereka tidak pernah mentahdzir sebagian yang lain serta tidak saling membenci, maka mengapa kita saling membenci hanya karena masalah yang sepele jika dibandingkan dengan masalah yang lebih penting lagi dalam agama ini?!
Tidaklah kebanyakan kita mengetahui bahwa Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- ketika pulang dari perang Ahzab dan datang Jibril kepada beliau memerintahkan agar beliau pergi ke Bani Quraizhah karena mereka telah membatalkan perjanjian, maka beliau memerintahkan para sahabat g berangkat ke Bani Quraizhah seraya berkata : “Janganlah salah seorang dari kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah” (HR. Bukhari). Merekapun berangkat dari Madinah dan ketika waktu shalat ashar tiba sebagian mereka mengatakan : Kita tidak boleh shalat ashar melainkan di Bani Quraizhah, hingga merekapun menunda shalat ashar sampai diluar waktunya. Dan sebagian yang lain mengatakan : kita shalat ashar pada waktunya meskipun kita belum sampai di Bani Quraizhah. Hal ini pun terdengar oleh Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-, tapi beliau tidak menyalahkan seorangpun dari mereka dan mereka tidak saling membenci satu sama lain meskipun perselisihan tersebut lebih berat dibandingkan perselisihan dalam masalah duduk (istirahat) ketika akan naik ke raka’at kedua atau keempat.
Yang saya harapkan dari saudara-saudaraku para dai adalah agar mereka tidak menjadikan permasalahan yang pintu ijtihad masih terbuka di dalamnya sebagai sebab perpecahan, hizbiyyah dan saling menuding sesat orang yang tidak sependapat dengannya, karena ini akan melemahkan kekuatan mereka dimata para musuh. Kalian sudah mengetahui, bahwa disana banyak musuh yang mengintai kita, akan tetapi barangsiapa yang Allah selalu bersamanya maka akan baik akibatnya dan dia akan ditolong di dunia dan di akhirat, sebagaimana Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman:
“Sesungguhnya kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Ghofir : 51)
Saya mohon kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- untuk menjadikanku dan kalian semua sebagai penolong agama-Nya, dan sebagai dai yang selalu berada di atas ilmu serta selalu merahmati kita semua, sesungguhnya Dialah Yang Maha Pemberi.
(Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 26, hal. 40-43)

1 Response to "Nasehat Bagi Para Da’i Salafy"

  1. Anonim Says:

    luar biasa
    mengena, santun dan tidak ada yang disinggung secara langsung\semoga allah swt senantiasa merahmatimu

Leave a Reply